Selasa, 23 April 2019

Konservasi Arsitektur

Bangunan Cagar Budaya
Museum Bahari


Gambar terkait



Museum Bahari Indonesia adalah museum yang berisikan koleksi-koleksi dan sejarah-sejarah kelautan di Indonesia. Bangunan berlantai tiga itu didirikan tahun 1652 oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda di Batavia terletak di tepi Teluk Jakarta yang indah, tepatnya di Jalan Pasar Ikan 1, di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa, di ujung utara Kota Jakarta.

Lokasi : Jl. Pasar Ikan No.1 RT 11 RW 4 Penjaringan DKI Jakarta

Fungsi Awal: Gudang Rempah-rempah
Fungsi Sekarang: Museum Bahari

Sejarah Museum Bahari

Museum Bahari berdiri di bangunan bekas komplek gudang milik Hindia Belanda. Gudang ini dibanun di samping mulut Sungai Ciliwung yang merupakan sungai utama di Jakarta. Bagian tertua museum dibangun pada kepemimpinan Gubernur Christoffel van Swoll. Komplek gudang ini dibagi dua yaitu Westzijdsche Pakhuizen atau komplek gudang sisi barat yang dibangun pada tahun 1652 hingga 1771 dan Oostzijdsche Pakhuizen atau komplek gudang sisi timur. Komplek gudang di sisi barat memiliki empat bangunan yang tiganya sekarang digunakan untuk museum. Dulu digunakan untuk menyimpan banyak rempah seperti pala, tembakau, kopra, kayu putih, cengkeh, kayu manis dan lada. Tidak hanya berbagai macam rempah tapi juga kopi, teh dan pakaian. Barang-barang ini disimpan dulu sebelum diangkut ke banyak pelabuhan di Asia dan Eropa.




Eksisting

Adanya sebuah Menara Syahabandar yang dulunya berfungsi sebagai pemantau kapal yang dulunya digunakan di Batavia. Lokasi dari menara Syahbandar ini berada disekitar 50 meter sebelum memasuki museum wisata bahari, dan menjadi ciri khas tersendiri dari kawasan Museum yang satu ini.







Eksisting

Denah lantai 1 Museum Bahari
Denah lantai 2 Museum Bahari
Tampak depan bangunan Museum Bahari terlihat dinding tebal serta atap khas tropis layaknya benteng kecil menunjukan bahwa pada masa itu gudang rempah-rempah ini sangat dijaga ketat oleh bangsa Belanda. Cat dinding berwarna putih serta pembaharuan pada atap serta dua jangkar di depan museum.
Fasad Museum Bahari                  Atap Museum Bahari
Jendela Pada Museum Bahari
Material Kayu pada jendela masih terlihat kokoh dan masih berfungsi dengan baik dengan desain kolonial yang lekat pada jendelanya. Namun kondisi pada interior atau ruang pamer ini seharusnya menggunakan pencahayaan alami dari dinding yang cukup lebar tetapi saat itu menggunakan pencahayaan buatan dari lampu.
Pencahayaan Didalam Museum Bahari
Tampak Pintu Museum Bahari
Tangga Menuju Lantai 2 Museum Bahari

Detail Kolom dan Balok Kayu


MASJID CUT MEUTIA

Jl. Taman Cut Mutiah no.1, Kebon Sirih, Menteng

SEJARAH

Pada awalnya, bangunan Masjid Cut Meutia dibangun untuk fungsi yang sangat berbeda. Diperkirakan pada tahun 1912, sebuah biro arsitek dan developer pada masa itu, N.V (Naamloze vennootschap), menginisiasi dimulainya pembangunan gedung bertingkat untuk dijadikan kantor. Gedung bertingkat itulah yang kemudian diberi nama Gedung De Bouwploeg. Setelah digunakan sebagai kantor, gedung tersebut mengalami pengubahan fungsi yang beragam. Gaya kolonial yang sangat khas dari bangunan tersebut tetap dipertahankan karena merupakan sebuah warisan budaya yang penting. Pada tahun 1961, bangunan tersebut ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya.




Banyaknya sudut membuat bangunan ini juga  memiliki  banyak  jendela  dan  pintu  sebagai  saluran  cahaya  dan  udara.  Anak tangga pada bangunan ini terdapat di pintu utama dan pada dinding barat laut.


Di tengah void terdapat lampu kaca yang semakin menambah nuansa arsitektur kolonial dari bangunan tersebut. Bagian langit-langit bangunan dihiasi ceiling yang terbuat dari kayu dan berbentuk persegi, menyesuaikan bentuk dengan penutup atap masjid.


Untuk menyangga bangunan, dipergunakan 4 buah pilar utama di tengah ruangan dan 8 buah pilaster   di   sudut.   Selain pilar   dan pilaster   terdapat   beberapa   tiang pendukung yang berada di lantai 1 maupun 2. 


GPIB IMMANUEL DEPOK

JL. PEMUDA NO. 70 RT 02 / RW 08
KELURAHAN DEPOK, KECAMATAN PANCORAN MAS, KOTA DEPOK, PROVINSI JAWA BARAT

SEJARAH


Gereja ini dibangun beberapa tahun setelah kedatangan Cornelis Chastelein, seorang keturunan Belanda berdarah ningrat Perancis, dan para budaknya – yang kelak dimerdekakan dalam kristiani – di Depok. Gereja Immanuel Depok ini berdiri pada tahun 1713.
Sebelumnya, mereka melakukan ibadah di sebuah kapel berukuran 23 x 8 meter di Batavia, yang telah didirikan terlebih dulu oleh Cornelis Chastelein di dekat purinya di Jalan Kenanga Pasar Senen. Konon, sekalipun harus berjalan selama kurang lebih 14 jam pulang pergi ke Weltevreden di Batavia untuk beribadah di sana, para pekerja di Depok melakukannya dengan penuh kesetiaan.
Pada mulanya, gereja di Depok ini dibangun secara sederhana, terbuat dari kayu dan bambu. Namun, akibat pelapukan yang terjadi, pada tahun 1715 dan tahun 1792 gereja itu direnovasi. Pada tahun 1834, sebuah gempa besar yang terjadi meruntuhkan seluruh bangunan sehingga akhirnya gereja itu didirikan kembali dari batu. Banyak orang beranggapan bahwa pembangunannya
kembali baru dilakukan 15 tahun setelah selesainya pembangunan Gereja Willemskerk di Batavia. Itu berarti gereja Depok baru dibangun kembali pada tahun 1854.
Dalam perkembangan gereja tersebut tidak ditemukan satu catatan atau prasasti pun mengenai adanya peletakkan batu pertama pembangunan gereja yang sudah dilakukan berulang kali itu, selain prasasti marmer yang dibuat tahun 1892. Prasasti ini merupakan peninggalan peringatan terhadap Cornelis Chastelein sejak ditemukannya kembali naskah surat wasiatnya.

Gereja Imannuel memiliki sebuah menara yang berdiri membumbung melalui atap bangunan. Keberadaan menara ini merupakan salah satu ciri bangunan gereja.

Jendela maupun pintu pada gereja juga berbentuk bujursangkar dengan lengkungan yang melancip di bagian atasnya. Yang unik, kini gereja Imannuel memiliki masing-masing 6 buah pintu di sisi kiri dan kanannya
Pada tiap daun pintu itu tertulislah nama dari masing-masing budak Mr. Chastelein yang mengembangkan agama Kristen di Depok.
Dulu pada bingkai-bingkai itu terdapat daun pintu, tapi karena terjadi perluasan bangunan gereja ke arah sisi kiri dan kanan, maka dibangunlah dua dinding baru berikut pintunya di sisi luar dinding berbingkai tersebut.

Menuju ruang ibadah melalui pintu utama yang terletak di bagian muka gereja, akan langsung terlihat sebuah prasasti yang ditulis dalam bahasa Belanda dan Melayu Kuno.

Pada awalnya, gereja ini dibangun secara sederhana, terbuat dari kayu dan bambu. Namun akibat pelapukan yang terjadi, pada tahun 1715 dan 1792 gereja direnovasi. Dalam perkembangannya gereja ini terus mengalami pemugaran dan merubah bentuk asli dari gereja ini sehingga tidak menyisakan dari bentuk gereja pada masa pembangunan awalnya.

Kondisi pintu Gereja dalam kondisi sekarang dengan tetap mengguanakan tulisan dengan nama marga pemilik gereja pada tempo dulu.

Kondisi Gereja inmanuel tempo dulu sebelum ada perubahan pada bangunan tersebut, dengan gaya bangunan kolonial.