Museum Bahari

Museum
Bahari
Indonesia adalah
museum yang berisikan koleksi-koleksi dan sejarah-sejarah kelautan di
Indonesia. Bangunan berlantai tiga itu didirikan tahun 1652
oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda di
Batavia terletak di tepi Teluk
Jakarta yang indah, tepatnya di Jalan Pasar Ikan 1,
di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa, di ujung utara Kota
Jakarta.
Lokasi :
Jl. Pasar Ikan No.1
RT 11 RW 4 Penjaringan DKI
Jakarta
Fungsi Awal:
Gudang Rempah-rempah
Fungsi Sekarang:
Museum Bahari
Sejarah Museum Bahari
Museum
Bahari berdiri di bangunan bekas komplek gudang milik Hindia Belanda.
Gudang ini dibanun di samping mulut
Sungai Ciliwung yang
merupakan sungai utama di
Jakarta. Bagian tertua
museum dibangun pada kepemimpinan Gubernur
Christoffel van Swoll. Komplek gudang ini dibagi dua yaitu Westzijdsche Pakhuizen atau komplek gudang sisi barat yang
dibangun pada tahun 1652
hingga 1771
dan Oostzijdsche Pakhuizen atau komplek gudang sisi timur. Komplek gudang di sisi barat memiliki empat bangunan yang
tiganya sekarang digunakan untuk
museum. Dulu digunakan untuk menyimpan banyak rempah seperti pala, tembakau, kopra, kayu putih, cengkeh, kayu manis dan lada. Tidak hanya berbagai macam rempah tapi juga
kopi, teh dan pakaian. Barang-barang ini disimpan dulu sebelum diangkut ke banyak pelabuhan di
Asia dan Eropa.
Eksisting
Adanya sebuah
Menara Syahabandar yang
dulunya berfungsi sebagai pemantau kapal yang
dulunya digunakan di
Batavia. Lokasi dari menara Syahbandar ini berada disekitar 50
meter sebelum memasuki
museum wisata bahari, dan menjadi ciri khas tersendiri dari kawasan
Museum yang satu ini.
Eksisting
Denah lantai 1 Museum Bahari
Denah lantai 2 Museum Bahari
Tampak depan bangunan
Museum Bahari terlihat dinding tebal serta atap khas tropis layaknya benteng kecil menunjukan bahwa pada masa
itu gudang rempah-rempah ini sangat dijaga ketat oleh bangsa Belanda. Cat
dinding berwarna putih serta pembaharuan pada atap serta dua jangkar di depan
museum.
Fasad Museum Bahari Atap Museum Bahari
Jendela Pada Museum Bahari
Material
Kayu pada jendela masih terlihat kokoh dan masih berfungsi dengan baik dengan desain kolonial yang
lekat pada jendelanya. Namun kondisi pada
interior atau ruang pamer ini seharusnya menggunakan pencahayaan alami dari dinding yang
cukup lebar tetapi saat itu menggunakan pencahayaan buatan dari lampu.
Pencahayaan Didalam Museum Bahari
Tampak Pintu Museum Bahari
Tangga Menuju Lantai 2 Museum Bahari
Detail Kolom dan Balok Kayu
MASJID
CUT MEUTIA
Jl.
Taman Cut Mutiah
no.1, Kebon Sirih, Menteng
SEJARAH

Pada awalnya, bangunan Masjid Cut Meutia dibangun untuk fungsi yang sangat berbeda. Diperkirakan pada tahun 1912, sebuah biro arsitek dan developer pada masa itu, N.V (Naamloze vennootschap), menginisiasi dimulainya pembangunan gedung bertingkat untuk dijadikan kantor. Gedung bertingkat itulah yang kemudian diberi nama Gedung De Bouwploeg. Setelah digunakan sebagai kantor, gedung tersebut mengalami pengubahan fungsi yang beragam. Gaya kolonial yang sangat khas dari bangunan tersebut tetap dipertahankan karena merupakan sebuah warisan budaya yang penting. Pada tahun 1961, bangunan tersebut ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya.
Banyaknya sudut membuat bangunan
ini juga memiliki banyak
jendela dan pintu
sebagai saluran cahaya
dan udara. Anak tangga pada bangunan ini terdapat di
pintu utama dan pada dinding barat laut.
Di tengah void terdapat lampu kaca
yang semakin menambah nuansa arsitektur
kolonial dari bangunan tersebut. Bagian langit-langit bangunan dihiasi ceiling yang
terbuat dari kayu dan berbentuk persegi, menyesuaikan bentuk dengan penutup atap masjid.
Untuk
menyangga bangunan, dipergunakan 4 buah pilar utama di tengah ruangan dan 8
buah pilaster di sudut.
Selain pilar dan pilaster terdapat
beberapa tiang pendukung yang
berada di lantai 1 maupun 2.
GPIB IMMANUEL DEPOK
JL. PEMUDA NO. 70 RT 02 / RW 08
KELURAHAN DEPOK, KECAMATAN PANCORAN MAS,
KOTA DEPOK, PROVINSI JAWA BARAT
SEJARAH
Sebelumnya, mereka melakukan ibadah di sebuah kapel berukuran 23 x
8 meter di Batavia, yang telah didirikan terlebih dulu oleh Cornelis Chastelein di dekat purinya di Jalan Kenanga Pasar Senen. Konon, sekalipun harus berjalan selama kurang lebih 14
jam pulang pergi ke Weltevreden di
Batavia untuk beribadah di sana, para pekerja di Depok melakukannya dengan penuh kesetiaan.
Pada mulanya, gereja di Depok ini dibangun secara sederhana, terbuat dari kayu dan bambu. Namun, akibat pelapukan yang
terjadi, pada tahun 1715
dan tahun 1792
gereja itu direnovasi. Pada tahun
1834, sebuah gempa besar yang
terjadi meruntuhkan seluruh bangunan sehingga akhirnya gereja itu didirikan kembali dari batu. Banyak
orang beranggapan bahwa pembangunannya
kembali baru dilakukan 15 tahun setelah selesainya pembangunan Gereja Willemskerk di
Batavia. Itu berarti gereja Depok baru dibangun kembali pada tahun
1854.
Dalam perkembangan gereja tersebut tidak ditemukan satu catatan atau prasasti pun mengenai adanya peletakkan batu pertama pembangunan gereja yang
sudah dilakukan berulang kali
itu, selain prasasti marmer yang
dibuat tahun
1892. Prasasti ini merupakan peninggalan peringatan terhadap Cornelis Chastelein sejak ditemukannya kembali naskah surat wasiatnya.
Gereja Imannuel memiliki sebuah menara yang
berdiri membumbung melalui atap bangunan. Keberadaan menara ini merupakan salah satu ciri bangunan gereja.

Jendela maupun pintu pada gereja juga berbentuk bujursangkar dengan lengkungan yang
melancip di bagian atasnya.
Yang unik, kini gereja Imannuel memiliki masing-masing 6 buah pintu di sisi kiri dan kanannya.
Pada tiap daun pintu itu tertulislah nama dari masing-masing budak Mr. Chastelein yang
mengembangkan
agama Kristen di Depok.
Dulu pada bingkai-bingkai itu terdapat daun pintu, tapi karena terjadi perluasan bangunan gereja ke arah sisi kiri dan kanan, maka dibangunlah dua dinding baru berikut pintunya di sisi luar dinding berbingkai tersebut.
Menuju ruang ibadah melalui pintu utama yang terletak di bagian muka gereja, akan langsung terlihat sebuah prasasti yang ditulis dalam bahasa Belanda dan Melayu Kuno.
Pada
awalnya, gereja ini dibangun secara sederhana, terbuat dari kayu dan bambu.
Namun akibat pelapukan yang terjadi, pada tahun 1715 dan 1792 gereja
direnovasi. Dalam perkembangannya gereja ini terus mengalami pemugaran dan
merubah bentuk asli dari gereja ini sehingga tidak menyisakan dari bentuk
gereja pada masa pembangunan awalnya.
Kondisi pintu Gereja dalam kondisi
sekarang dengan tetap mengguanakan tulisan dengan nama marga pemilik gereja
pada tempo dulu.
Kondisi Gereja inmanuel tempo dulu
sebelum ada perubahan pada bangunan tersebut, dengan gaya bangunan kolonial.